Jumat, 28 Januari 2011

AKADEMISI DALAM PARTAI POLITIK


Dilihat dari tema topik kita yaitu antara kata akademis dan juga partai politik merupakan kata-kata yang mempunyai arti yang berbeda. partai politik adalah salah satu komponen yang penting dalam dinamika perpolitikan suatu bangsa, partai politik dipandang sebagai cara seseorang  kelompok untuk mendapat kekuasaan jadi dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah sekumpulan orang yang secara terorganisir membentuk sebuah lembaga yang bertujuan merebut kekuasaan politik secarah sah untuk bisa menjalankan program programnya yang telah direncanakan, adapun defenisi dari salah satu ahli pakar yaitu ROGER.F mengatkn bahwa “partai politik merupakan kelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisasi yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahandan kebijkan umum yang mereka “ sedangkan akademis atau akademisi adalah orang orang yang terlibat kegiatan yang bersifat edukatif artinya orang orang yang terlibat dalam bidang kependidikan langsung secara formal atau resmi seperti guru ,dosen, juga para pelajar baik itu murid siswa dan juga mahasiswa yang biasa disebut para cedikiawan. Namun apa jadinya jika para akademis yang lagsung terlibat dalam sebuah partai politik? Berikut wacana yang terkait dalam problem tersebut.
Lahirnya partai politik baru yang didirikan intelektual menjelang Pemilihan Umum 2004 menimbulkan pertanyaan, harapan, bahkan juga cibiran. Memang, sesuatu yang baru sering menimbulkan perdebatan. Seperti umumnya gerakan politik yang baru muncul, mereka selalu menganggap dirinya sebagai jawaban atas kekurangan yang ada pada masa sebelumnya. Tidak heran jika partai baru itu sering berusaha mendelegitimasi keberadaan partai lama.
penjelasan tentang intelektual yang hijrah ke partai politik (parpol) mungkin justru diawali dengan kesulitan untuk mengatakan siapa yang pantas dikatakan sebagai intelektual. Berbagai perbedaan pandangan muncul tentang siapa yang bisa dikatakan intelektual.
Apakah intelektual itu menurut pengertian kamus atau menurut pendapat orang yang punya kepentingan dengan kata tersebut. Apakah semua sarjana lulusan perguruan tinggi bisa dikatakan intelektual? Apakah setiap orang di antara kita yang bisa berbicara lancar dan punya ide brilian bisa dikatakan sebagai intelektual ? Ataukah kata intelektual itu cuma sebutan bagi sebagian kecil masyarakat yang merasa dirinya bisa berpikir lebih dibandingkan dengan sebagian besar lainnya?
Terlepas dari perdebatan tentang siapa yang bisa dikatakan sebagai intelektual itu, dalam tulisan ini akan dibatasi pada mereka yang berasal dari kalangan akademisi atau pengajar di berbagai perguruan tinggi yang terjun ke dunia politik praktis.
Dalam wacana masyarakat madani, kaum intelektual ini sering dimasukkan ke dalam bagian masyarakat publik yang akan berhadapan dengan kekuasaan. Mengikuti logika tersebut, tentu saja masuknya kaum intelektual ke dalam arena kekuasaan akan mempersempit dukungan terhadap ranah publik masyarakat madani. Padahal, ada argumentasi yang mengatakan bahwa masyarakat madani yang demokratis itu harus diperluas agar bisa membatasi kekuasaan. Nah, melebarnya ranah kekuasaan yang diidentifikasikan dengan masuknya intelektual dalam parpol apakah akan berpengaruh terhadap keinginan untuk memperluas masyarakat madani.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Prof Dr Maswadi Rauf menyebutkan, ada tiga alasan yang mendorong intelektual atau akademisi dari perguruan tinggi untuk terjun ke dunia politik.
Pertama, parpol memang kekurangan kader partai. Padahal, pada saat yang sama, mereka mengharapkan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Tidak heran jika perguruan tinggi yang dianggap sebagai gudang SDM yang besar banyak dilirik parpol.
Kondisi ini, menurut Maswadi, merupakan sumbangan dari produk masa lalu yang membuat parpol tidak punya kemampuan yang cukup untuk mendidik kadernya sendiri. Padahal, dalam teks ilmu politik diyakini bahwa parpol yang tidak mempunyai kader perlahan-lahan akan mati dengan sendirinya. "Kaderisasi itu ibarat nyawa bagi parpol," ujarnya.
Kedua, manisnya kekuasaan dunia politik memang sangat menggiurkan. Akademisi banyak yang melihat bahwa peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 berhasil memanfaatkannya menjadi peluang untuk mengukuhkan kekuasaan politik atau sekadar legitimasi hukum atas keberadaan partai. Tidak heran jika akademisi yang pada Pemilu 1999 ragu untuk terjun ke dunia politik, begitu menyaksikan kiprah mantan rekan sejawatnya yang berhasil di dunia politik menjadi tertarik untuk mengikuti kisah sukses itu. Apalagi jika sudah pernah merasakan manisnya kekuasaan, maka muncul keinginan untuk berkuasa lagi.
"Orang seperti Ryaas Rasyid mungkin merasa masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Itu pula yang mungkin mendorongnya membuat partai baru agar bisa kembali masuk dalam lingkaran politik," kata Maswadi yang kini menjabat sebagai salah seorang Deputi di Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada masa lalu sebagian besar pengurus akademisi yang terjun ke parpol umumnya memilih Golkar. Terutama di daerah-daerah, banyak calon anggota legislatif dari perguruan tinggi memilih Partai Golkar.
Ketiga, ada juga sikap ovonturir di antara akademisi. Ada dorongan yang kuat untuk sekadar mencoba merasakan dunia politik. Apalagi kesempatan untuk memasuki dunia politik memang terbuka.
Jebakan kekuasaan
Fenomena masuknya akademisi ke dalam politik sebenarnya bukan hal yang baru. Qomari Anwar, Rektor Universitas Muhammadiyah HAMKA, pun merasa bahwa masuknya dia ke dunia politik bukan hal yang baru. Bahkan, menurut dia, sejak masa Orde Baru pun tidak sedikit akademisi yang bergabung dalam parpol, terutama Golkar.
Pada pemilu lalu Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais sebelumnya juga dikenal sebagai akademisi dari Universitas Gadjah Mada. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah yang pernah mendapat gelar motor reformasi ini ternyata hingga sekarang masih mampu membawa suasana seperti reformasi, seperti yang diharapkan. Para deklarator PAN yang banyak diisi oleh kaum intelektual secara perlahan mulai meninggalkan gelanggang permainan kekuasaan. Bahkan, Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah, pernah mengungkapkan ketidakpercayaannya kepada elite politik hasil Pemilu 1999 untuk menjaga reformasi yang pernah digulirkan. Lantas, di mana daya tarik parpol bagi akademisi.
Sejarah pergerakan nasional sebenarnya dipelopori oleh para intelektual sebagai kekuatan masyarakat madani. Tidak heran dalam wacana masyarakat madani, ada yang mengatakan bahwa Indonesia dilahirkan oleh kekuatan intelektual tersebut, bukan partai politik. Jadi, memang agak mengherankan jika kekuatan intelektual itu kemudian menjadi bagian dari kekuasaan meskipun Harry J Benda juga menyebutkan bahwa di negara-negara yang baru merdeka, kaum intelektuallah yang bergerak menjadi bagian dari kelas penguasa.
Tidak heran jika intelektual di Indonesia seperti dibebani pesan moral. Budayawan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu pidatonya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengatakan, Indonesia khususnya, di mana semua mulai diawali, dibangun dan dikembangkan seirama dengan keperluan nasional kaum intelektual, bukan sekadar mesin yang menari antara input dan output. Intelektual dituntut kejelian kepiawaiannya untuk dapat melihat peran dari perkembangan nasional, yang berarti juga kemampuan untuk melihat hari depan.
Menurut Pramoedya, kaum intelektual bukan sekadar bagian dari nasionnya. Mereka juga nurani nasionnya karena bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi akibat dalam memutuskannya atau tidak.
Apa yang terjadi sebelum Pemilu 1999 memperlihatkan banyak tokoh intelektual yang terjun ke parpol sambil berharap bisa memberikan perubahan jika berhasil duduk di kekuasaan. Namun, kenyataannya memang tidak semudah seperti harapan.
Anehnya, meskipun pengalaman memperlihatkan tidak mudahnya kaum intelektual melakukan perubahan, menjelang Pemilu 2004, tetap saja banyak kaum intelektual yang terjun ke dunia politik. Bahkan ada yang membentuk partai sendiri dengan harapan yang sama seperti harapan para intelektual yang terjun ke dunia politik pada pemilu lalu.
Wacana yang digulirkan intelektual yang muncul belakangan sekarang adalah keinginan untuk membersihkan politik kotor. Caranya, dengan mengisi parpol yang ada atau membuat parpol baru dengan melibatkan intelektual yang jujur dan berintegritas serta tidak mudah tergiur pada permainan kekuasaan dan uang. Sebuah cita-cita yang kedengarannya agak utopis terwujud di Indonesia jika melihat jalinan kekuasaan dan uang yang ada saat ini.
Deklarasi Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK) oleh Ryaas Rasyid dan Andi Alfian Mallarangeng dan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB) yang dimotori tokoh ekonomi Sjahrir sepertinya memberikan angin segar bagi kaum intelektual jujur untuk melakukan perbaikan. Dengan penuh keyakinan, Sjahrir dan Mallarangeng memulai kerja-kerja politiknya. Tidak heran jika banyak kalangan akademisi kampus yang tertarik dengan wacana yang dikembangkan oleh partai baru ini. Namun, Maswadi mengingatkan, ketika kalangan intelektual ini tidak mengenal medan politik yang diterjuninya, maka sangat mudah akan terjebak pada permainan kekuasaan. Jika tetap ingin masuk dalam permainan politik, parpol baru harus mau mengikuti permainan yang sudah disusun oleh partai lama.
 menurut Maswadi, kalangan akademisi juga harus menyadari bahwa kebenaran yang ada dalam permainan politik akan sangat berbeda dengan permainan kebenaran dalam dunia akademis. Inilah yang sering membuat para akademisi tidak tahan dan akhirnya meninggalkan gelanggang politik dan kembali ke kampus. "Seperti dosen-dosen di FISIP UI, banyak yang tadinya mau keluar, namun akhirnya lebih memilih kampus sebagai arena pengabdian. Meskipun orang-orang seperti Nazaruddin (Ketua KPU) dan rekan lain yang ada di KPU tidak lagi berstatus PNS, mereka tetap bisa dan mau mengajar," ujarnya. Saat ini parpol baru berusaha membangun partainya dengan model partai modern, namun Direktur Eksekutif Freedom Rizal Mallarangeng tetap melihat adanya ketergantungan yang kuat dari parpol baru itu terhadap figur. Tidak bisa dimungkiri kalau Partai PDK itu bergantung pada figur Ryaas Rasyid dan Andi Mallarangeng, atau Partai PIB bergantung pada figur Sjahrir.
Tantangan utama partai baru ini, menurut Rizal, membangun kerja sama tim yang kuat sebelum terjun ke masyarakat. Ironisnya, justru tantangan ini sepertinya dihindari partai-partai politik baru. Pasalnya, figur itu terlanjur dianggap sebagai maskot yang bisa laku dijual di pasaran. "Para akademisi ini mungkin akan melihat kenyataan bahwa pengalaman berpolitik di Indonesia akan sangat berbeda dengan teori politik yang pernah dipelajari," ujarnya.
Membersihkan politik dari sampah-sampahnya tidak semudah berteori atau berdiskusi di ruang kelas kampus. Maswadi menilai politik praktis memang penuh sikut-sikutan, namun celakanya, para akademisi ini tampaknya tidak menyadari adanya sikut-sikutan yang tidak beraturan itu.
Para politisi baru dan jujur yang masih hijau dengan dunia politik ini hanya akan menjadi gizi tambahan bagi parpol, namun tidak bisa punya pengaruh signifikan. Paling kuat, hanya bisa sekadar mewarnai, tetapi sangat sulit untuk melakukan perubahan. Dan, usaha untuk mempermainkan politisi karbitan ini memang sudah menjadi bagian dari pekerjaan politisi lama yang menguasai permainan sistem politik.
Pada akhirnya nanti mungkin para intelektual ini kembali tersadar bahwa politik bukan sekadar kecanggihan berpikir. Ada permainan kepentingan yang sangat beragam dalam skala yang terdiferensiasi cukup jauh. Sayang sekali jika partai baru hanya mengandalkan ketokohan dan kemampuan keintelektualan. Akibatnya justru bisa memberikan ketidakpercayaan yang meluas di antara anggota masyarakat akan arti sumbangan intelektual dalam mewujudkan masyarakat madani. (Imam Prihadiyoko
Berdasarkan hasil penelitian dari Indo Barometer dan The Lead Institute tentang kepemimpinan nasional yang dipublikasikan pada tanggal 15 Juni 2007, 29,3 persen responden menilai bahwa jalur kaderisasi ideal berasal dari akademisi dan 20, 4 persen responden mengatakan parpol sebagai sumber kaderisasi ideal.
Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap jalur akademisi dalam kepemimpinan nasional yang lebih besar dibandingkan dengan jalur partai politik, meskipun dilandasi oleh pemikiran menempatkan istitusi pendidikan sebagai entitas yang mulia, tetapi sesungguhnya diwarnai pula oleh nostalgia pemerintahan Orde Baru, dimana para akademisi selalu dilibatkan dalam kegiatan politik oleh partai penguasa. Peran ganda itulah yang tampak di kulit luar dan dicerna oleh rakyat sebagai suatu bentuk ideal yang mampu memberikan kesejahteraan dan ketenteraman walaupun dalam balutan keadilan semu.
Meski demikian, ekspresi responden itu tetap menggembirakan, dan menunjukkan tingkat rasionalitas masyarakat yang masih bisa memberikan masukan berharga dalam mencari model kepemimpinan nasional di Indonesia. Harapan responden mencerminkan bahwa sesungguhnya rakyat tidak skeptis dalam menyikapi dinamika politik yang saat ini dinilai oleh sejumlah pihak sebagai biang keladi dari keterpurukan bangsa yang tidak kunjung usai. . Di sisi lain sikap responden tersebut, hendaknya bisa dipakai untuk mendorong institusi pendidikan sebagai pusat persemaian nilai – nilai kepemimpinan nasional yang berpihak kepada rakyat.
Dalam perspektif pengkategorian partisipasi politik menurut Robert D. Putnam, para akademisi masuk dalam kelompok attentive public, yang berperan dalam mengamati kehidupan politik dan pemerintahan. Namun dengan segala idealisme dan keterbatasannya, mereka tidak terjun langsung dalam kegiatan partai politik praktisi, sehingga pemikirannya tidak bisa berpengaruh langsung terhadap gerakan ataupun dinamika politik yang berkembang dalam masyarakat. Substansinya, para intelektual kampus tidak memiliki “peran politik” sebesar pemilik modal dan birokrat tingkat tinggi yang pendapatnya dipertimbangkan oleh elite partai dalam kekuasaan Negara.
Berdasarkan posisi tersebut, meski kelompok akademisi menguasai sejumlah teori ideal untuk menyejahterakan rakyat dengan cara yang lebih adil dan beradab, tetapi para intelektual itu hanyalah pelengkap dalam dinamika politik yang sering tidak sejalan dengan pakem kehidupan bernegara. Bisa saja pendapat “orang kampus“ menjadi populer dan mendominasi media massa, tetapi dengan cepat juga dilupakan oleh publik. Sebab tidak ada implikasi signifikan yang bisa menggerakkan para politisi maupun elite dalam kekuasaan negara untuk bersungguh – sungguh menjalankan ide – ide dari para intelektual perguruan tinggi. Meski demikian, pernyataan dari para intelektual kampus, sangat mungkin dipakai sebagai acuan oleh para politisi, dengan catatan jika teori – teori yang dikemukakan bisa dipakai untuk menyerang lawan politiknya, atau yang lebih konkrit dan dianggap sebagai kelaziman berpolitik, jika para akademisi memiliki relasi yang kohesif dengan kelompok elite dalam jajaran partai politik. Tesis Peter L. Berger, sosiolog Amerika, menyebutkan bahwa klik – klik antara politisi dan akademisi merupakan suatu kekuatan besar untuk menetapkan kebijakan publik di negara – negara berkembang. Substansinya, para akademisi yang secara kontinyu terlibat dalam klik politik inilah yang paling berpeluang untuk tampil dalam kepemimpinan nasional. Bukan akademisi tulen yang bekerja, aktif mengembangkan ilmunya di lingkungan institusi pendidikan dan menjadi rujukan masyarakat. Menjadi pertanyaan disini, apakah para akademisi yang terjun ke partai politik sebagai politisi ataupun masuk dalam lingkaran kekuasaan masih bisa diandalkan nilai – nilai akademisnya? ketika menyusun berbagai kebijakan publik, mengingat peran yang dilakukan sudah jauh bergeser dari idealisme yang berpihak kepada kebenaran teoritis berubah menjadi kesetiaan terhadap patron politiknya. Eberhard Puntsch (1996) , yang membahas tentang politik dan martabat manusia, menandaskan, tekanan terhadap politisi adalah paksaan untuk bersikap solider pada partai, walaupun perilaku orang partai melukai cara pandang etis dan bertentangan dengan cara pandangnya sendiri. Dalam cengkeraman politik yang kuat, sepertinya mustahil seorang akademisi yang berpolitik bisa melawan hegemoni partai.
Sampai sekarang , harapan masyarakat untuk melihat munculnya kepemimpinan dari jalur akademis, tidak mudah untuk diwujudkan. Kaderisasi melalui intitusi pendidikan tinggi yang mencetak para intelektual, hanyalah sebatas angan – angan dalam kehidupan politik yang dibelenggu oleh nilai – nilai persekongkolan untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan. Apalagi berbagai regulasi yang menyangkut kepemimpinan, sebagaimana dalam pemilihan kepala daerah, masih memosisikan partai politik sebagai institusi yang paling berhak untuk menetapkan seorang pemimpin. Akibatnya seorang akademisi yang cemerlang sekalipun, jika mau tampil sebagai pemimpin harus tunduk terhadap partai politik, yang nota ben-nya semakin tidak dipercaya oleh masyarakat.
Dari pernyataan di atas kita dapat simpulkan bahwa yang harus diperbaiki adalah struktur mekanisme dan sistem kinerja partai politik yaitu diantaranya tidak mementingkan kepentingan yang  bersifat pribadi ataupun bersifat kelompok (liberalisme) agar tidak adanya penyimpangan penyimpangan yang terjadi dalam pemerinthan.dengan begitu maka pemerintahan di Indonesia berjalan dengan baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar