Sabtu, 29 Januari 2011

PP NO 66 TAHUN 2010, BUKAN SOLUSI PENDIDIKAN

Lahirnya pp no.66 tahun 2010 pengganti dari pp no.17 tahun 2010 tentang pengelolahan dan penyelenggaran pendidikan yang telah ditangani oleh presiden pada 28 september lalu. dalam isi pp tersebut ada beberapa poin yang dianggap belum atau tidak sejalan dengan pemikiran kebanyakan para cendikiawan terutama mahasiswa, mereka menganggap bahwa lahirnya pp no.66 tahun 2010 merupakan bentuk komersialisasi dari badan pendidikan. Segala bentuk pendidikan dibadan hukumkan namun segala bentuk kewenangan pengelolahan dana itu kembali pada kewenangan kampus masing masing.
Efek dari penyataan tersebut tentunya berefek pada harga SPP yang sudah menjadi kewenangan masing masing kampus tentunya akan berdampak besar bagi mereka dari kalangan bawah, dalam arti secara halus sekolah hanya diperbolehkan kepada mereka yang berada pada kalangan menengah keatas, ini sama saja terjadi diskriminatif kepada setiap warga ataupun masyarakat, kita ketahui bahwa pendidikan juga merupakan hak bagi setiap manusia tanpa membedakan status ras maupun golongan seharusnya pemerintah mengetahui hal tersebut, mengapa Negara Indonesia masih saja tergolong belakang? Sebab Indonesia belum mampu menciptaakan sumber daya manusia yang berkualitas secara keseluruhan. sistem pendidikan Indonesia masih jauh berbeda dengan system pendidikan Negara maju lainnya.
Jika suatu Negara ingin maju tentunya kita harus memperbaiki sistematika kinerja mereka khususnya yang berada di golongan cendikiawan namun apa yang terjadi, sekarang ini pemerintah lebih mempersulit jalannya pendidikan dengan menerapkan peraturan tersebut, setelah diperhatikan lalu apa bedanya universitas negeri dan swasta jika pengaturan dana sudah menjadi kewenagan birokrasi kampus masing masing? Memang didalam peraturan tersebut mengatakan bahwa “20% dari total mahasiswa dengan latar ekonomi menegah kebawah akan mendapat bantun berupa beasiswa namun itu saja belum cukup untuk memeratakan pendidikan diindonesia berikut fakta contoh kasus tersebut.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66/2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan yang mengamanatkan perguruan tinggi negeri (PTN) harus menerima 20 persen mahasiswa miskin tampaknya sulit untuk dilakukan. Sebab, beban yang ditanggung (subsidi) PTN cukup besar. Apalagi, jatah beasiswa yang diberikan kepada setiap PTN tidak sesuai dengan PP tersebut.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab mengaku, selama ini PTN sudah berusaha untuk melaksanakan kebijakan 20 persen mahasiswa miskin tersebut. Hanya, PTN harus berusaha keras untuk menutupi kekurangan yang diberikan.’’Tidak gampang menerapkannya. Dari 3 ribu mahasiswa reguler UNY (yang berhak dapat beasiswa) baru orang penerima beasiswa miskin. Mestinya ada 600 orang. Masih kurang 200 orang lagi,’’ kata Rochmat ketika dihubungi INDOPOS (grup JPNN) di Jakarta kemarin (8/10).
Menurutnya, setiap tahun beasiswa miskin yang diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Rp 4 juta. Sedangkan rata-rata keperluan seorang mahasiswa setiap tahunnya Rp 8-10 juta untuk IPS dan Rp 10-25 juta untuk IPA. Artinya, masih ada kekurangan yang harus ditanggung PTN.
Tidak hanya demikian, lalu bagaimana pula dengan mereka saudara saudara kita yang tergolong tidak mampu juga tidak pandai tapi mempunyai minat yang besar? Apakah pemerintah tega melihat rakyatnya yang mempunyai minat dan tekad yang besar namun terkandas oleh sebuah kepandaian dan masalah ekonomi. Berikut contoh kasus yang terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Universitas Brawijaya (UB) kesulitan mencari calon mahasiswa yang akan diberikan beasiswa penuh. Karena, beberapa persyaratan yang ditetapkan kerap tidak memenuhi. Misalnya, syarat mahasiswa dari daerah pesisir atau terpencil yang tidak mampu secara ekonomi tetapi pandai.
Kebanyakan mahasiswa yang tidak mampu itu juga tidak pandai,” ujar Rektor UB Prof Dr Yogi Sugito kemarin. Menurut dia, rata-rata mahasiwa yang masuk ke UB adalah mahasiswa mampu secara ekonomi dan akademik. Hal ini dimungkinkan karena kesempatan belajar dan media belajar mereka lebih baik daripada yang miskin. Dengan begitu, banyak calon mahasiswa miskin yang tidak memenuhi syarat masuk UB. “Akibatnya, karena anggaran beasiswanya yang besar dan penerima yang layak sedikit, maka akhirnya mahasiswa yang kaya juga banyak yang dapat. Padahal, UB ingin beasiswa ini benar-benar bisa membantu mahasiswa berprestasi dari kalangan ekonomi lemah,”
Kabag Kemahasiswaan UB Ali Farid SH mengatakan, dia UB jumlah penerima beasiswa jumlahnya ribuan. Mereka mendapat beasiswa dai berbagai sumber. Untuk yang resmi dari pemerintah seperti Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM, sebanyak tiga ribuan mahasiswa. Mereka mendapat beasiswa Rp 250 ribu per bulan. Kemudian, yang mendapat beasiswa penuh dari program IMHERE dari Dikti, gratis SPP empat tahun sebanyak 50 mahasiswa. Selain, gratis penuh SPP mereka juga mendapat beasiswa Rp 300 ribu tiap bulan.
Namun, mereka yang menerima beasiswa penuh ini harus mampu mempertahankan IPK minimal 2,75 setiap semesternya. Jika IPK kurang dari angka tersebut, mahasiswa tersebut bisa dievaluasi dan kemungkinan tidak mendapatkan beasiswa siswa lagi.
Sementara untuk menyeleksi mahasiswa yang tidak mampu itu, ada tim dari UB yang bertugas menyeleksi. Tim tersebut mengumpulkan berbagai data tentang mahasiswa itu. Mulai penghasilan orang tua, kondisi rumah hingga prestasi akademik di sekolah.
Di UM tidak sesusah seperti di UB, karena yang kuliah di UM juga masih banyak yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Meskipun akhir-akhir ini, sudah sangat banyak yang berasal dari kalangan ekonomi mampu.
Kahumas UM Zulkarnain Nasution mengatakan, di UM jumlah mahasiswa yang menerima beasiswa dari program PKPS BBM sebanyak 453 mahasiswa. Sedangkan, yang mendapat beasiswa dari program IMHERE sebanyak 30 mahasiswa.
Sungguh kasihan mereka yang terkandas dan tidak bisa menerima bantuan beasiswa. Perbandingan yang membutuhkn dengan kapasitas yang ada sangat jauh berbeda dan harusnya menjadi pusat perhatian pemerintah saat ini.
Bukan hanya perguruan tinggi negeri yang merasa dirugikan namun perguruan tinggi swasta juga demikian Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 berlaku diskriminatif terhadap perguruan tinggi swasta (PTS) karena tidak ada satu pasal pun yang bisa menjadi payung hukum bagi lembaga pendidikan tersebut. Keluhan Perguruan Tinggi Swasta mengenai PP no. 66 tersebut\ akan dibicarakan di Rapat Kerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Hal itu dikatakan anggota Komisi X DPR RI, Popong Otje Djundjunan saat membuka kegiatan “Pesta Sastra 2010” dalam rangka Dies Emas Universitas Pasundan di Aula Unpas, Jln Setiabudhi, Bandung, Kamis (11/11). Dia mengatakan, pemerintah tidak bisa mengabaikan peran perguruan tinggi swasta dalam memajukan pendidikan di Indonesia. "Kalau tidak ada PTS bagaimana? Tidak semua mahasiswa tertampung di universitas negeri,"
Menurut Popong, PP no. 66 merupakan perpaduan antara sistem liberal dan konservatif. Saat ini rektor harus pandai menyikapi serta melaksanakan PP no. 66 yang mengandung dua kubu tersebut sehingga tujuan nasional pendidikan bisa tercapai.
Sementara itu Rektor Unpas sekaligus Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Barat Didi Turmudzi, mengatakan APTISI akan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung mengenai PP no. 66 tersebut. Hal itu bertujuan untuk membuktikan apakah peraturan tersebut sudah layak atau belum digunakan sebagai payunh hukum seluruh lembaga pendidikan di Indonesia terutama swasta, namun sampai sekarang belum ada perkembangan.
Saya harap pemerintah mengkaji ulang pp no.66 thn 2010 tersebut sebelum diterapkan nanti secara keseluruhan agar tidak terjadi pihak yang merasa dirugikan terutamanya pada kaum cendikiawan khususnya para mahasiswa, saya harap pula pemerintah tidak hanya mencanangkan wajib belajar 9 tahun tapi wajib belajar 16 tahun artinya sampai perguruan tinggi tentunya dengan pembiayan anggaran Negara dan juga pemerintah harus memperhatikan tentang penyediaan fasilitas fasilitas dan tenaga tenaga ahli untuk pendidikan. Jika sebuah Negara ingin maju maka tingkatkanlah kualitas sumber daya manusianya guna kelangsungan pembangunan Negara yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar